Modernisasi dan kemajuan teknologi di segala bidang kehidupan membuat masyarakat semakin terlena, terus dimanjakan akan kemudahan-kemudahan fasilitas yang ada. Namun, di sisi lain juga mempunyai suatu konsekuensi, terutama dalam bidang kesehatan. Seperti gaya hidup sedentari (sedentary lifestyle) yang ditandai oleh banyak duduk dan kurangnya aktivitas fisik.
Kebanyakan pegawai kantor yang mengalaminya, hampir sekitar 8-10 jam per hari atau bahkan lebih, duduk di ruangan, aktivitas serbamonoton di depan komputer, meeting, dan diskusi di ruang rapat. Pola aktivitas seperti itu, ditambah kegemaran melahap makanan tinggi lemak, karbohidrat, dan protein dari hidangan cepat saji, akan memudahkan munculnya penyakit kronik modern yang tidak menular seperti kegemukan atau obesitas, hipertensi atau tekanan darah tinggi, stroke, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan kanker.
Tidak hanya kurang bergerak, pola hidup seperti merokok, pola makan yang tidak seimbang, terutama jarangnya mengonsumsi buah dan sayur, stres karena beban hidup yang semakin berat, serta kondisi lingkungan yang tidak kondusif terhadap kesehatan dengan makin tingginya paparan polusi juga makin memicu kemunculan penyakitpenyakit tersebut. Berdasarkan penelitian, sekitar 28% penyebab kematian adalah akibat PTM yang dilatarbelakangi gaya hidup.
Penyakit jantung, misalnya, yang masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 29% atau 17,1 juta pasien meninggal setiap tahun di dunia karena sakit jantung. Di Tanah Air angkanya tak jauh beda.Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) pada 1991 menyebutkan, angka kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK) adalah 16%. Namun, pada 2001 angkanya melonjak menjadi 26,4%. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di Indonesia.
Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RS JPDHK) dr Hananto Andriantoro, SpJP (K), FICA mengakui masih tingginya prevalensi penderita penyakit jantung. Fakta ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, memang karena jumlah pasiennya yang meningkat karena pola makan dan pola hidup yang tidak sehat. Yang kedua, bisa disebabkan oleh cepatnya kemajuan teknologi kedokteran serta makin terampilnya tenaga medis sehingga lebih banyak pasien yang terdeteksi sejak dini.
”Tapi, bagusnya masyarakat sekarang juga lebih waspada dan peduli pada kesehatan sehingga cepat ketahuan penyakitnya,” kata dia.
Melihat fenomena tersebut, tidak heran, Hananto menyebutkan, pasien jantung kini sudah menyerang di usia yang lebih muda, yaitu kurang dari 40 tahun. Penyakit lain yang banyak menyerang karena gaya hidup adalah stroke. Saat ini peluang seseorang terkena stroke adalah dua di antara 1.000 orang.
”Usianya bahkan bergeser menjadi lebih muda, ada yang masih 18 tahun. Dulu, stroke umumnya terjadi pada umur 55-64 tahun,” ujar spesialis saraf dari PacHealth@ThePlaza, dr Pukovisa Prawiroharjo SpS.
Apalagi, Pukovisa menyebutkan, gejala stroke cenderung tidak terlihat. Seseorang dapat langsung pingsan dan ketika terbangun sudah menderita stroke. Banyaknya pasien stroke, menurut dia, lebih karena perubahan gaya hidup modern yang semakin tidak sehat.
”Stroke itu penyakit dramatis karena banyak menyerang pria yang notabene tulang punggung keluarga. Ketika sakit, otomatis dia menjadi beban keluarga,” sebut Pukovisa.
Diabetes juga kini menjadi ancaman penting. WHO memperkirakan, pada 2030 penyandang diabetes di Indonesia akan meningkat menjadi 21,3 juta orang. Kondisi ini menjadikan negara kita menduduki peringkat keempat setelah Amerika Serikat, China, dan India di antara negara-negara yang memiliki pasien diabetes terbanyak dengan populasi penduduk terbesar di dunia.
Sebelumnya, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, penyandang diabetes di Tanah Air mencapai 10 juta orang. Diabetes merupakan penyebab kematian nomor enam dari seluruh kematian pada semua kelompok umur. Prevalensi diabetes di daerah perkotaan adalah 5,7%, dengan 73,7% pasien diabetes di antaranya tidak terdiagnosis dan tidak mengonsumsi obat.
Sementara itu, prevalensi toleransi glukosa terganggu adalah 10,2%. Penyakit diabetes atau dikenal dengan nama kencing manis disebabkan sekresi hormon insulin atau defisiensi distribusi gula dalam tubuh atau karena keduanya.
Ketua Perkumpulan Ahli Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Prof Ahmad Rudijanto, SpPDKEMD mengatakan, diabetes dibagi dua jenis yaitu tipe 1 dan 2. Untuk tipe 1, menurut dia, umumnya karena kerusakan sel beta di dalam pankreas yang memproduksi insulin, yang disebabkan atau menyebabkan proses autoimun. Adapun tipe 2, biasanya karena faktor keturunan dan lingkungan. Faktor keturunan maksudnya, jika salah satu atau kedua orang tua menderita penyakit ini,maka kemungkinan untuk terkena diabetes lebih besar dari yang lain.
”Faktor lingkungan ini yang paling besar memengaruhi genetik, misalnya karena kelebihan berat badan yang dapat menyebabkan resistensi insulin,” ujarnya.
Dalam upaya mencegah agar gula darah tak melonjak,Rudijanto menegaskan, usahakan tubuh tak terlalu gemuk dengan makan secukupnya yang mengandung gizi seimbang. Menemukan faktor risiko pada diri sendiri mesti dilakukan, di antaranya kegemukan, sedentary lifestyle, keturunan, ibu yang pernah melahirkan bayi lebih dari 4 kilogram, dan hipertensi.
Sumber: Health.okezone.com
Advertisement
0 komentar:
Posting Komentar